SELAMAT DATANG DI BLOG INI, SILAHKAN FOLLOW JIKA ANDA TERTARIK

Selasa, 13 Juli 2010

Mengapa Salam Sejahtera

Segala puji kita haturkan kepada Rabb kita, Allah subhanahu wa ta’ala. Dialah yang mengutus para nabi dan rasul. Dialah yang telah mengutus Ibrahim. Dia pula yang mengajarinya tauhid, setelah ‘bergonta-ganti’ keyakinan. Dialah yang menunjukinya kepada kebenaran.

Maha suci Allah yang telah mengokohkan keimanan Ibrahim. Ibrahim remaja telah berhasil menyedot perhatian orang sekampungnya. ‘Tingkahnya’ bagai petir di siang bolong. Dan kita semua sudah tahu kisahnya tentang penghancuran berhala. Dia berani beradu argumen dengan Namrudz yang akan menghukumnya. Namrudz sungguh murka atas perbuatan Ibrahim. Akan tetapi kemudian Ibrahim merobohkan kecongkakan kaum-kaumnya yang kafir dengan ‘argumen ringan’.

“Demi Allah, Sesungguhnya Aku (Ibrahim) akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya[962]. Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: “Siapakah yang melakukan perbuatan Ini terhadap tuhan-tuhan kami, Sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim.” Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala Ini yang bernama Ibrahim “. Mereka berkata: “(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan”. Mereka bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan Ini terhadap tuhan-tuhan kami, Hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar Itulah yang melakukannya, Maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara”. Maka mereka Telah kembali kepada kesadaran dan lalu berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)”, Kemudian kepala mereka jadi tertunduk[963] (lalu berkata): “Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) Telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.” Ibrahim berkata: Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?” Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami? (QS. Al-Anbiyaa’ ayat 57-67).

[962] ucapan-ucapan itu diucapkan Ibrahim a.s.dalam hatinya saja. Maksudnya: nabi Ibrahim a.s. akan menjalankan tipu dayanya untuk menghancurkan berhala-berhala mereka, sesudah mereka meninggalkan tempat-tempat berhala itu.

[963] maksudnya; mereka kembali membangkang setelah sadar.

Sungguh telah ada pada diri Ibrahim suri teladan yang baik. Dialah contoh pemilik mutiara tauhid. Penggigit tali aqidah. Dia tidak mau menjual keesaan tuhannya sekedar untuk kesenangan kafirin. Dia tidak rela menukarkannya dengan segala perhiasan dunia. Bara api di tangannya jauh lebih berharga. Maka kita pantas mencontohnya.

Akan tetapi, sekarang ini – semoga hanya karena kurang cermat - banyak di antara kita meremehkannya. Baik secara sengaja maupun tidak. Apa buktinya? Kita sering mendengar ‘Pak Lurah’ berkata,

“Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh…. Salam sejahtera untuk kita semua.”

Atau MC-nya berceloteh,

“Berdo’a sesuai kepercayaan dan agama masing-masing, dipersilakan.”

Adakah yang aneh dengan kalimat-kalimat di atas? Yuk, mari kita cermati. Akan tetapi kita satukan cara pandang dulu. Kita sepakati, kita tidak akan membahas dari sisi unsur sintaksis kalimat. Ada yang lebih ahli untuk itu. Mari kita bahas lebih dalam tentang makna kalimat tersebut.


A. Salam sejahtera untuk kita semua

Apa sih pentingnya kalimat ini? Barangkali ada yang menjawab, “Untuk menghargai pemeluk agama lain.”

Boleh? Kalimat ini disampaikan kepada siapa?

1. Kalau ditujukan kepada orang kafir, maka…

Kalau kalimat itu ditujukan kepada non muslim, tidak boleh. Kita dilarang mendoakan keselamatan bagi orang kafir.

Allah Ta’ala melarang Nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam (ini sengaja, bukan salah ‘gelar’, karena do’a ini bukan khusus untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) mendoakan keselamatan bagi bapaknya yang kafir. Coba kita perhatikan ayat ini.

“Sesungguhnya Telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan Dia; ketika mereka Berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan Telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya[1470]: “Sesungguhnya Aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan Aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami Hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan Hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan Hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al-Mumtahanah ayat 4)

[1470] nabi Ibrahim pernah memintakan ampunan bagi bapaknya yang musyrik kepada Allah : Ini tidak boleh ditiru, Karena Allah tidak membenarkan orang mukmin memintakan ampunan untuk orang-orang kafir (lihat surat An Nisa ayat 48).


2. Kalau ditujukan kepada orang muslim, maka…

Nah, kalau kalimat ini kita tujukan kepada orang muslim, bagaimana? Tentu boleh kita mendoakan keselamatan bagi saudara muslim. Akan tetapi, kita bisa kena ‘pasal’ ini:

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia bagian dari mereka,” (HR. Abu Dawud)

Salam sejahtera dan seterusnya adalah salam khas orang Nasrani. Kita dilarang mengikutinya.


3. Kalau ditujukan kepada orang campur (muslim & kafir), maka…

Kalau ditujukan kepada orang muslim maupun kafir, kita bisa kena point kedua tadi. Kita dianggap menyerupai kebiasaan kaum kafir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbolehkan kita memberikan salam kepada sekumpulan orang yang terdiri dari muslim dan kafir.


B. Berdo’a sesuai dengan keyakinan dan agama masing-masing, dipersilakan!

Kalau antum ingin tahu detail hukum kalimat ini, bisa tanya pada para ulama’. Bisa lewat Mbah Google. Tetapi dengan dalil ringan kita bisa menyalahkannya. Jika kita lanjutkan, seolah-olah kalimat itu berbunyi demikian.

Orang Islam, silakan berdoa, boleh…

Orang Kristen, silakan berdoa, boleh…

Orang Buddha, silakan berdoa, boleh…

Lebih lanjut, bisa dimaknai begini.

Orang Islam, silakan meyakini Allah Ta’ala sebagai sesembahan…

Orang Kristen, silakan memilih Isa sebagai sesembahan…

Orang Buddha, silakan memilih Buddha sebagai sesembahan…


Wah, ngeri dong! Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka?” (QS. Al-Ahqaf ayat 5)

“Inilah ciptaan Allah, Maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang Telah diciptakan oleh sembahan-sembahan(mu) selain Allah. Sebenarnya orang- orang yang zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata. Dan Sesungguhnya Telah kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (QS. Luqman ayat 11-13)

Kalau kita lebih jauh, kalimat di atas mengindikasikan adanya do’a bersama. Innalillaahi wa inna ilaihi raaji’uun. Bagaimana bisa berdoa bersama padahal yang diseru berbeda-beda. Bahkan seakan-akan kita membenarkan orang Buddha memohon kepada Buddha. Seakan-akan kita membenarkan nasrani memohon kepada Isa, dan seterusnya.

Jadi, begitulah. Alangkah indahnya jika kita mau mencontoh Nabi Ibrahim. Alangkah indahnya jika semua muslimin bersedia berkata dengan bangga, “Saksikanlah, bahwa kami orang-orang muslim”. Meski berbuat baik kepada orang-orang kafir diperbolehkan, akan tetapi tidak ada kompromi dalam hal aqidah.

Semoga Allah Ta’ala memahamkan kita, menunjuki kita, dan memberi kita kekokohan iman.

Sufyan bin ‘Abdullah pernah berkata,“Wahai Rasulullah, katakan kepadaku tentang Islam suatu perkataan yang aku tidak perlu menanyakannya lagi kepada seorang pun, kecuali kepadamu! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Katakanlah: ‘Aku telah beriman kepada Allah’, kemudian istiqomahlah!” (HR. Muslim, hadits ke 21 dalam kitab Arba’in Nawawi).


Wallahu a’lam. Alhamdulillahirobbil’alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulisan manakah yang paling menarik perhatian anda? Kenapa?